19
Malin Bonsu. Ya, pikiran Datuk Domiolah balik ke masa lampau, masa ketika Malin Bonsu selagi kecil dahulu. Malin yang lucu, Malin yang pintar, Malin yang besar bak diumbut-umbut, cerdik bak diajar-ajar, Malin yang memiliki mata bulat terang bercahaya, yang bertingkah aneh dan berwatak keras tapi penyayang. Semua prilakunya hampir sedap ditengok dan mengundang tawa, Malin yang bercakap dengan lidah pelat dan terpatah-patah, yang berlari di rumah godang terhentak-hentak. Malin yang jatuh dari tangga rumah godang tak sekali dua, namun semua itu tidak menyisakan sembarang bekas apapun di tubuhnya. Kepala, badan, tangan, kaki, punggung, dan semua batang badan Malin seolah terbuat dari besi baja. Malin yang selalu menangkap patung-patung atau capung di pagi hari yang hinggap di pucuk-pucuk rumput liar yang tumbuh beberapa helai di laman luas rumah godang sambil tertawa-tawa senang. Malin yang telah mengisi hari-hari mereka yang sunyi saat baru menikah dahulu. Malin yang juga manja, yang selalu bergayut di lehernya ketika hendak mandi di jamban panjang, atau baru bisa tidur kalau dipeluk dan dicium ibundanya lebih dahulu, atau didendangkan olehnya dongeng-dongeng nenek moyang sebelum naik ke pembaringan saat hari sudah jauh malam.
Malin yang menjadi buah bibir hampir seluruh masyarakat Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak, bahkan oleh seluruh hamba rakyat Pulau Perca, Tanah Lembata. Malin yang disebut-sebut orang sebagai anak alim bertuah godang. Kini, tuah itu hanya sampai di sini? Selagi masih bujang berdengkang begini ia telah meninggalkan negeri fana ini? Meninggalkan bertukal-tukal benang harapan yang dijalin buatnya, buat Putri Jailan dan seluruh hamba rakyat Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak. Andaikata Malin sudah menikah, dan andai ia sudah punya anak. Mungkin kepergian Malin tidak meninggalkan bara pedih yang demikian dalam. Tentulah sang cucu dapat pula ia timang-timang, ia dodoi-dodoi, ia buai-buai, ia dendang-dendang, ia lambung-lambung kini. Tapi? Datuk Domiolah makin memperderet berbakul-bakul kata ‘andai’ dan ‘tapi’ dalam pikirannya. Kini seluruh hati dan pikirannya telah dipenuhi kata-kata andai, kalau saja, jika saja…tapi…
Penat membayangkan Malin, pikirannya pun beralih kepada mendiang istrinya, perempuan jelita bangsawan yang sepanjang hidup memelihara rambut sampai menjilat lutut itu tentu akan marah besar kepadanya kenapa ia membiarkan Malin pergi merantau seorang diri. Kenapa ia tak bisa menolak permintaan anak tunggal mereka itu? Kenapa ia menyia-nyiakan buah hati, ulam jantum mereka itu? Kenapa?
Setelah lama terdiam, akhirnya Datuk Tunggal Dagang mengusik lamunan Datuk Domiolah. Ia melanjutkan bicaranya lagi. “Mana Kanda Tua Domiolah dan Kanda Tengah Lanang Bisai hamba berhimbau. Selum hamba bercakap, maafkan hamba terlebih dahulu. Kalau kita tangisi untung buruk yang sudah terjadi, ia tak akan baik juga rasanya. Air yang telah hilir tak mungkin mudik kembali. Hujan yang telah tumpah ke bumi tak mungkin naik ke langit lagi. Sekarang menurut hamba begini saja lah, ada pepatah orangtua-tua kita mengatakan, kalau terkenang kepada yang hidup, kita jalang. Apabila kita teringat kepada yang meninggal, marilah kita berkenduri, memanggil orang seorang dua di kampung ini. Kini kita berada dalam keadaan terkenang kepada yang mati. Kalau benarlah Malin Bonsu sudah meninggal, eloklah kita berkenduri secepatnya.”
Tak satupun dari Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai yang angkat bicara menanggapi usul Datuk Tunggal Dagang itu. Mereka masih tenggelam oleh pikiran kusut-kemusut masing-masing.
Setelah sekian lama bermain dengan perasaan mereka sendiri-sendiri, akhirnya Datuk Domiolah mengusap pelan kedua belah matanya dengan telunjuk, lalu ia pun berkata.
“Mana adik Omin Guntingan dan adik Tunggal Dagang hamba berhimbau. Kalau memang begitu pesan Malin, apa lagi daya kita? Mau tak mau kabulkan kehendak hati pesan ananda Malin itu. Kita nikahkan Putri Jailan dan Raja Hitam secepatnya.” Nada suara Datuk Domiolah terdengar lemah. Tak ada semangat lagi di sana.
“Tapi kanda, perlu saya kabarkan bahwa anak kita Putri Jailan tak mau nikah dengan Raja Hitam. Sepanjang pendapat dia, ananda Malin belum meninggal,” jelas Omin Guntingan. Kini ia sudah mampu berkata walau kesedihan masih menyelimuti hatinya. Ia tak ingin pemuda berambut keriting, berkulit hitam dengan gigi berkarat dan tak tahu budi bahasa itu mempersunting anak gadis semata wayangnya. Sungguh ia tak sudi.
Datuk Tunggal Dagang mengarahkan pandang ke samping, ke arah Datuk Lanang Bisai. Datuk Lanang Bisai menyambut pandangan abang tertuanya itu dengan tatapan kosong. Sekali ini ia tak mampu memberi satu kata apapun. Ia masih tenggelam dengan kepedihan yang menjalar di sekujur hatinya.
Melihat tak ada usul pendapat dari adiknya yang selama ini terkenal arif lagi bijaksana ini, akhirnya Datuk Lanang Bisai sendiri yang memutuskan.
“Kalau tidak kita perturutkan kata Raja Hitam tersebut, rasanya kita juga yang salah karena tanda sudah dibawa, keris pendek Malin Bonsu sudah diperlihatkannya kepada kita. Hmm..Sekarang adik berdua pulanglah, nanti kami akan mengikuti kalian dari belakang. Kalau tak ada aral, akan kita buka helat besar secepatnya di Kota Lembacang Pandak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar