27
Setelah Raja Hitam dan Putri Jailan dinikahkan. Orang ramai yang terdiri dari masyarakat Ranah Kunto Panalian dan dari Ranah Kota Lembacang Pandak serta para tamu undangan dari negeri-negeri tetangga pun pulang ke rumah mereka masing-masing.
Raja Hitam kini sudah menetap di rumah godang Kota Lembacang Pandak. Tapi antara Raja Hitam dan Putri Jailan belum satu kali pun berjumpa. Akad nikah dilangsungkan tanpa dihadiri Putri Jailan. Tunangan Malin Bonsu itu tetap mengurung diri di anjung tinggi.
Anjung baru dibukakannya bila ia mendengar suara Kembang Cina atau Omin Guntingan yang datang, dan itupun sekali dalam sehari, sekedar mengantar makanan atau mengantarkan air mandi setimba dua.
Putri Jailan tak mau menemui orang lain. Kedatangan mereka baginya hanya akan menambah perih dan luka hatinya.
Kembang Cina dan Omin Guntingan pun tak pernah lama di anjung tinggi karena Putri Jailan tak sekali jua mau bicara dengan mereka. Makanan dan air yang diantar itu pun kadang-kadang tak terusik sedikit saja oleh Putri Jailan.
Makin hari Putri Jailan makin tak berselera terhadap segala hal. Sering juga Omin Guntingan dan Kembang Cina menasehati Putri Jailan supaya jangan terus meracun diri seperti itu tapi tak satu patah pun kata keluar dari mulut Putri Jailan sebagai tanggapan atau jawaban. Setiap mereka datang, Putri Jailan selalu diam, selalu membisu , kalau tak duduk temenung, maka ia akan terbaring seperti orang sakit yang hampir mati.
Mata yang selalu bercahaya itu sudah mulai memudar. Tak sekali dua, bola bulat jernih sebagai cermin jiwa, yang dulu berisi semangat itu menjadi kosong dan hampa. Rambut yang selalu tergerai hampir menjilat lutut pun kini sudah mulai acak-acakan tak teratur lagi. Rambut yang dulu hitam mengkilat lurus itu sudah mulai kelihatan pirang dan kusut hampir menjadi rambut jagung. Putri Jailan tak pernah lagi mematut-matut diri di cermin. Badan yang selalu dijaga supaya tidak gemuk dan tidak kurus sangat itu kini terbiar bagai pucuk tebu yang hampir layu kala direndam air selama beberapa pekan.
Hampir setiap waktu pikiran Putri Jailan dilintasi berbagai peristiwa masa lampau. Pikiran bersama ayah bundanya dan bersama Malin Bonsu. Tapi yang lebih dominan itu, tentu saja masa lalu bersama Malin Bonsu. Malin yang dulu telah dianggapnya sebagai abang sendiri karena ia memang tak punya saudara satu orang pun. Perlahan tapi pasti, setelah ia tahu kalau Malin itu ternyata tunangannya, ia mulai merasa lain. Setiap mengenang Malin ia tersenyum sendiri. Senyum itu tak jarang dipertunjukan kepada laut embun dan kepada bentangan langit biru yang selalu memayungi rumah godang.
Ia tak tahu, kenapa ada kuntum-kuntung bunga mekar di hatinya tumbuh mengecup setiap kali mengingat semua yang Malin punyai. Melihat senyum Malin, tingkah Malin, suara Malin, bahkan ketika sesekali ibu atau inang pengasuhnya menyebut nama Malin Bonsu pun ia merasa senang sekali. Ia ingin secepatnya bisa melihat Malin setiap hari. Ingin berkejar-kejaran lagi di sekeliling rumah godang, atau main sondok-sondokan[1] di bawah rumah godang bertiang itu atau berenang di pinggir laut embun kala mentari baru membuka kelopak matanya di pagi hari atau kala rembulan sudah mulai mengintip sambil senyum malu-malu menjemput malam di saat senja hampir datang membayang.
Ingin mencubit lengan Malin lagi karena anak paman tuanya itu tak jera-jeranya menggodanya. Ingin, ingin, ingin….
Akh, tapi semua itu bakal tinggal kenangan. Cuma bayangan. Sebentar lagi ia akan melipat helai demi helai lembaran biru itu dalam nasib pahitnya. ( bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar