Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


12

“Mana Malin Bonsu hamba berhimbau. Insya olah baiklah itu. Supaya kukuh kita berdunsanak, perlulah kita buat tanda. Menurutmu, apa tanda kita berdunsanak itu kiranya?”
Malin Bonsu terlihat berpikir.
Entah berapa lama kemudian. “Mana kamu Raja Hitam. Ini tanda kita pulang-dunsanak,” kata Malin Bonsu kemudian sambil menyerahkan sebilah keris kepada Raja Hitam.
Ketika Raja Hitam menerima keris Malin Bonsu, dalam hati ia tertawa sambil berkata. “Hmm keris ini ‘kan membunuh tuannya. Akan hamba ambil tunanganmu. Dasar bodoh!”
 “Mana kamu Malin Bonsu. Kamu sudah menyerahkan tanda. Untuk itu, terima pula keris hamba ini. Inilah tanda kita adik-beradik. Tanda kita berpulang-bersaudara,” kata Raja Hitam kemudian tersenyum. Senyum penuh tujuan tak baik. Senyum mawar yang menyimpan selaksa duri tembaga.
Malin Bonsu makin tak betah berlama-lama lagi. Ia lihat jelas kalau senyum Raja Hitam hanya senyum penuh dengan kepalasuan. Malin sudah tak nyaman berada di dekat Raja Hitam. Pengakuannya pulang-dunsanak hanya sebuah taktik supaya Raja Hitam berpikir seribu kali untuk menghinatinya. Tapi apakah taktik Malin Bonsu itu berhasil?
Setelah menyelipkan keris Raja Hitam di pinggang, Malin Bonsu pun berkata, “Mana kamu Raja Hitam, karena hari sudah bersesar ‘kan tinggi juga. Kita pun sudah lama di sini. Sudah pula berpulang-berdunsanak. Dan kamu pun sudah mau balik, sedangkan hamba baru mau pergi. Untuk itu hamba segera undur diri. Perjalanan hamba masih jauh.”
Laut Simpang Empat siang itu tenang. Riaknya hanya sedikit mengombang ambingkan dendang.
Sebelum berkayuh. “Raja Hitam. Peganglah amanat hamba tadi.”
“Mana kamu Malin Bonsu. Tentang tunanganmu itu tak akan hamba sia-siakan. Kita ini berseadat-semalu. Tak mungkin kerja jahat hamba lakukan.”
Raja Hitam masuk ke dalam dendangnya. Malin Bonsu pun membuka tali dendang. Perlahan tapi pasti, dendang Malin Bonsu terus membelah lautan. Makin lama makin kencang, makin kencang. Kian lama, dendang Putri Jailan itu melaju, menrjang ombak dan gelombang bagai ikan lulung terkejut.
Raja Hitam tak langsung pulang ke Ranah  Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang; kampung halamannya. Lelaki yang bertubuh hitam dan berkelakuan hitam itu terus menuju Kota Lembacang Pandak; kediaman Putri Jailan. Ada sesuatu yang mesti ia lakukan di Kota Lembacang Pandak. Ya, sesuatu yang akan membuat ia senang dan bahagia tapi melukai orang lain. Menghianati Malin Bonsu.
***

Di Kota Lembacang Pandak
Oleh karena sudah lama mengarungi Laut Simpang Empat, kini Raja Hitam sudah tiba di Ranah Kota Lembacang Pandak. Setelah dendang ia tambatkan di pangkal kemuning jantan. Raja Hitam pun berdiri di kuanda dondang. Anak Raja Tua dari Ranah Kunto Panalunan menimang Bedil Jopun, memeriksa meriam kebesaran kerajaan Ranah Tanjung Siarang. Entah berapa lama kemudian bedil kebesaran kerajaan itu ia letuskan.
Di Rumah godang, Putri Jailan, Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan terkejut bukan main mendengar suara meriam itu. Begitu pula seluruh hamba rakyat Kota Lembacang Pandak. 
Sofiulah tobatlah alim. Siapa pula yang telah datang? Raja darimana yang telah tiba, sultan di mana pula yang sudah datang?” Tanya mereka dalam hati.
“Anak hamba Bujang Selamat. Pergilah segera ke jamban panjang. Raja dari mana yang telah tiba agaknya? Sultan dari mana pula yang telah datang ke negeri kita ini kiranya?”
Hati Putri Jailan dan seisi rumah godang  sudah terasa tidak nyaman. Waswas menyelimuti seketika.
Bujang Selamat berlari bagai tak cukup tanah menuju jamban panjang. Bujang selamat alias pelayan istana ini terkenal memiliki sifat terpuji; belum disuruh sudah datang, belum ditegah sudah berhenti.
Bujang Selamat terus berlari kencang menuju jamban panjang. Tak ia hiraukan orang-orang yang keheranan di kiri kanannya.
Dari jauh, di pangkal kemuning jantan, Bujang Selamat melihat di bawahnya terumbang  dendang panjang. Raja Hitam terlihat duduk terpegun di haluan.
“Raja Hitam?”
Bujang Selamat makin mendekat.
“Raja Hitam? Dari mana, hendak ke mana, dan apa pula maksudmu datang kemari? Siapa pula yang ingin kau jalang di sini? Siapa pula yang kamu cari kiranya?” Tanya Bujang Selamat berjujai-jujai tak sabar dengan bahasa yang tidak tersusun sama sekali, setelah berdiri tak sampai tiga depa dari dendang Raja Hitam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar