33
Di Kerajaan Bantan
Malam menggigil, dingin. Kian larut malam merambat, sejuk yang tak terbada-bada terasa makin tajam menusuk-nusuk tulang. Sejuk yang datang malam ini terasa amat dingin bagai berendam di kubangan salju.
Raja Bantan kuat-kuat menarik selimut tebal penuh ke seluruh tubuh di tengah kesunyian yang tak terpermanai ini. Di sampingnya, Putri Gondan Gonto Sari, perempuan yang baru tiga hari ia nikahi sungguh sangat berbalik belakang dengannya, perempuan muda bestari itu malah berlinyar peluh. Keringatnya memancit bagai baru selesai berdiang di tepi pohonan api saat membakar ladang belukar tinggal setahun.
Suasana hati antara Raja Bantan dan istrinya Putri Gondan Gonto Sari malam ini bagai siang dan malam, umpama langit dan bumi, laksana salju dan api. Raja Bantan menikmati dingin malam dengan selimut tebal, dan menyimpan seribu harap bakal didatangi mimpi indah di Surga. Sebaliknya, Putri Gondan Gonto Sari malah mengesali datangnya malam ini karena tubuhnya kian lama kian tak bisa berlama-lama di bilik peraduan karena hawa panas yang menerpa tubuhnya bagai hawa neraka yang telah menyalai rumah godang.
Putri Gondan Gonto Sari sudah sejak tadi kelihatan tak senang diam. Penat berbaring ia duduk, letih duduk ia berguling. Tak sedap menelentang lalu telungkup. Tak nyaman telungkup ia berdiri. Baju di badannya kini tinggal pakaian dalam saja. Helai demi helai pakaian yang ia lucuti dari badan habis sudah dijadikan kipas. Ia terus mencoba mengusir hadang yang kian lama makin tak terperi dengan kain-kemain yang berserakan di sekelilingnya.
Raja Bantan terjaga. Ia lihat di sampingnya tak ada siapa-siapa. Kemana Putri? Pikirnya. Mendengar bunyi kusuk-kasak, Raja Bantan menjungulkan kepala keluar dari selimut. Matanya tak berkedip melihat gelagat istrinya yang terus berkipas. “Dinda Gonto Sari. Apa yang terjadi padamu malam ini?”
Karena tak ada jawaban, Raja Bantan mencoba bangkit.
Putri Gondan Gonto Sari tiada menjawab. Melalui pantulan pelita yang tergayut tak jauh dari tempat tidur, wajah perempuan jelita itu terlihat keruh. Tak sedikitpun ia berpaling mendengar pertanyaan suaminya. Yang terdengar hanya bunyi lepuk-lepak kain selendang yang dikipas-kipaskan di tubuhnya. Bila ia berhenti, dari kejauhan debur ombak yang tak beraturan terdengar jelas memecah tebing.
“Malam sesejuk ini engkau berkipas Putri?” Raja Bantan mendekati perempuan yang baru tiga hari dinikahinya itu.
Karena tiada jawaban keluar dari mulut Putri Gondan Gonto Sari, Raja Bantan pun melangkah keluar dengan bermalas-malasan.
Bujang Selamat dan beberapa hulubalang yang selalu siap berjaga terkejut melihat raja mereka keluar kamar tengah malam buta begini.
“Kanda, jangan buat mereka bersusah-susah,” suara Putri Gondan Gonto Sari terdengar dari arah bilik.
“Lamat. Sediakan air untuk Putri Gondan.”
“Baik, Tuan.” Bujang Selamat menjura.
“Tak usah Lamat.”
“Kenapa Putri?”
“Kanda. Sebanyak apapun air yang akan Lamat sediakan malam ini, rasanya tak akan sanggup menghilangkan polak badan hamba ini.”
Bujang Selamat kelihatan terbingung-bingung. Entah berapa lama terlongong-longong begitu, kemudian ia pandang Raja Bantan.
“Kanda. Kalaulah kanda tidak keberatan, izinkan sekarang ini hamba pergi mandi di jamban panjang, nak membasahkan badan ini agak setimba dua.” Suara Putri Gondan Gonto Sari terdengar mengalun merdu sekali dari dalam bilik. Suara itu mengandung nada yang mengalun hendak menaklukkan hati Raja Bantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar