Minggu, 17 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

48

Hasrat hati Putri Gondan Gonto Sari bergolak hebat ingin menyaksikan dari dekat apa yang terjadi di laman luas. Tapi karena patuh pada perintah Malin Bonsu, lelaki yang telah membuat ia mabuk kepayang itu, ia undurkan niat. Ia coba memeram rasa risau dan ingintahu itu di anjung tinggi.
Tiang rumah godang terdengar berderit-derit dihantam angin. Atapnya berderau-derau. Rumah godang melenggang-lenggok serasa diayun.
Sekali dua, terdengar pekik, sergah dan bentakan Raja Bantan bagai petir pecah di langit. Pun, walau terus mengelak, sudah sekali dua pula suara Malin Bonsu mengimbangi sergah Raja Bantan. Hari kian menjadi pekat, walau tak ada kilat dan petir di langit, akan tetapi, di laman luas rumah godang, kilat dan petir terlihat memancar dan berdentum-dentum.   
Hulubalang bertujuh dan menteri Bantan yang delapan makin merapat ke gelanggang. Mata mereka tak berkedip menyaksikan perkelahian hebat pada pagi yang seperti tengah malam itu. Sudah beberapa kali, salah-seorang hulubalang ingin menghambur ke tengah gelanggang. Setiap kali ia hendak melompat, setiap kali pula menteri yang paling tua dan berpengaruh yang kelihatan mendekap dua tangan di dada memperingatkannya. Oleh karena sudah sekian kali menteri paling tua dan disegani itu mengingatkannya, ia undur lagi. Tapi hatinya mengkal dan geram bukan main.
Sebenarnya, bukan ia saja yang merasa geram seperti itu, para menteri dan hulubalang lain juga begitu, bahkan sudah beberapa orang yang telah menggenggam ulu keris tapi mereka sabar menunggu perintah dari raja. Sayang sekali, sampai saat itu, jangankan terdengar perintah, menoleh sepaling pun Raja Bantan tak ada kepada mereka.
Setelah sekian lama bertarung, kini bukan badan Raja Bantan saja yang mandi keringat, seluruh tubuh Malin Bonsu pun sudah hujan peluh. Pertarungan tampak mulai seimbang. Malin Bonsu tak main-main lagi. Serangan Raja Bantan makin lama makin berisi. Salah langkah sedikit saja, maka keris pusaka di tangan lelaki itu akan bersarang di tubuh. Dan kalau itu terjadi, tak dapat dibayangkan apa yang bakal berlaku.
Raja Bantan semakin lincah. Sudah dua-tiga kali, kerisnya hampir mencecah badan Malin Bonsu. Untung saja nasib baik masih berpihak kepada lelaki berpanau itu. Sekukupun menjejak goresan.
Semakin lama gerakan Raja Bantan semakin cepat dan gesit.
Sepandai-pandai tumpai melompat, suatu saat jatuh juga. Karena tersalah langkah, keris Raja Bantan tepat menghunjam dada Malin Bonsu.
Trangggg!
Mata Raja Bantan dan semua hulubalang serta para menteri terbeliak. Keris panjang pusaka kerajaan Bantan patah tiga.
Roman muka hulubalang yang tadi merasa sok bagak langsung terkucam setelah melihat keris pusaka kerajaan Bantan tak berdaya.   
Raja Bantan kesal sekali. Keris yang sudah dipakai nenek moyangnya bertempur selama bertahun-tahun, dan tidak terhitung lagi sudah berapa kali perang dimenangkan. Keris itu terus minum darah orang bagak dan pendekar dari berbilang negeri. Tapi kini, salah-satu keris pusaka itu patah tiga.  Sungguh ia tak percaya pada yang terjadi.
Sehebat inikah lelaki itu? Ia hempaskan gagang keris yang masih tergenggam di tangannya.
“Keris soau, keris celaka. Keris tak mau minum darah. Keris tak mau makan daging.”
Setelah gagang keris panjang menyentuh bumi, Raja Bantan pun mencabut keris pendek dari sarung yang terselip di pinggang. “Hmm. Tampunglah keris yang satu ini.” Raja Bantan melompat. “Haaap!!!”
Tikaman Raja Bantan sekali ini tak dielakkan Malin Bonsu. Anak orang bertuah godang, anak orang dubalang godang dari Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak itu dengan gagah perkasa menampungkan dada bidangnya yang berpanau. (bersambung)
  




 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar