42
Malin Bonsu menarik napas panjang. Firasat hatinya berkata, sebentar lagi bakal kusut rantau yang panjang, akan gaduh negeri godang. Tapi, sebagai seorang ksatria muda yang kuat memegang prinsip kebenaran, dalam hal ini ia merasa tak bersalah. Ia tidak melakukan sembarang apa pun dengan Putri Gondan Gonto Sari. Lagi pula, bukankah Kembang Cina ada bersama mereka? Untuk itu, kenapa pula ia harus takut dan khawatir? Kalau memang penguasa negeri ini akan mempermasalahkannya, apa boleh buat, tangan mencincang, bahu memikul. Ia berhutang budi pada Putri Gondan Gonto Sari yang telah menyelamatkan nyawanya.
Pulau Bantan jauh ke tengah/ di balik Pulau Angsa Dua/ hancur badan dikandung tanah/ budi baik dikenang juga.
Pisang emas bawa berlayar/ Pisang lidi di dalam peti/ Hutang emas dapat dibayar/ hutang budi dibawa mati.
Malin Bonsu melangkah dengan hati berat. Sementara Putri Gondan Gonto Sari mendahului langkah Malin Bonsu dengan hati berbunga. Walaupun dalam hati kecilnya, Putri Gondan telah menduga bakal kusut rantau yang panjang dan akan gaduh negeri Bantan nantinya. Ia tak peduli itu. Rasa senang bukan alang kepalang kepada Malin Bonsu telah melenyapkan semua itu. Dan ia yakin kalau lelaki asing yang ditemuinya ini bakal bisa menghadapi suaminya. Dari kilau panau yang tajam menusuk pucuk awan, ia mafhum sekali bahwa tuah lelaki asing ini melampaui tuah suaminya. Mengingat panau itu, hatinya makin berbunga. Tak henti-henti ia menyembunyikan senyum indah di balik dada ranumnya.
Sementara itu, hati Malin Bonsu tetap tak tenang. Darah gedobaknya selalu berdentung-dentung. Ini bukan darah takut. Bukan darah cemas dan khawatir. Darah beraninya tak pernah padam walau sedetik pun seumur hidupnya. Tapi darah yang berdetik-detik di hatinya ini menandakan bakal terjadi sesuatu yang tak ia inginkan. Tapi perempuan ini? Hutang budi ini?
Setelah mengenang ia berhutang budi pada perempuan ini maka semuanya menjadi lenyap. Ia langkahkan kaki dengan kuat. Mata hamba rakyat Tanah Bantan tak lagi ia perdulikan. Persangkaan Raja Bantan tak lagi ia hiraukan. Kalau nanti Raja Bantan memberi kesempatan kepadanya menjelaskan duduk perkara yang terjadi antara dia dan Putri Gondan Gonto Sari, maka semua-sekali akan ia jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi andai penguasa negeri ini memaksanya beradu jumawa hingga maut menjemput, apa boleh buat. Hidup memang tak mencari lawan, tapi bila musuh menantang, surut ia berpantang.
Dari balai panjang negeri itu, Raja Bantan sudah mulai hilir mudik bagaikan cigak pendek tali. Sebentar ia ke pintu, sekejap ke tingkap. Tak senang duduk ia pun berdiri. Para menteri dan hulubalang serta Bujang Selamat tak melakukan apa-apa. Mereka tak mau melakukan pekerjaan apapun sebelum mendapat petunjuk dari raja mereka itu. Kalau mereka mendahului perkerjaan yang tak disuruhnya maka penguasa muda itu tak segan-segan akan menghukum mereka.
Ketika sampai di pintu balai, mata Raja Bantan terbeliak. Badannya menggigil. Gigil ini bukan lagi gigil kedinginan tapi gigil penuh kemarahan. Hatinya menjadi panas membara. Sesuatu yang dikhawatirkannya sejak malam tadi terbukti sudah. Ia melihat istrinya, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina berjalan bersama seorang lelaki. Ingin saat itu langsung menghalangi mereka, mengajak lelaki tak beradat dan bermalu itu adu nyawa. Tapi pikiran sehatnya berkata lain, seorang raja besar tak mungkin mendahulukan emosi daripada akal sehat. Akan tetapi, walaupun sudah dipikir masak-masak, ternyata Raja Bantan tetap tak bisa menahan marah yang sudah pecah di dada. “Sofiulah, dik tobatlah alim. Senjak semula hamba katakan. Kamu tak boleh mandi di jamban panjang. Kini takkan ada cedak lagi, jelas ‘kan gaduh negeri godang, kusut rantau nan panjang.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar