Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


22

Ketika Datuk Tunggal Dagang menemani Bujang Selamat berdayung di kemudi, sambil menyaksikan air laut yang mengalir tenang, Omin Guntingan yang duduk di luan dendang terus berdoa dalam hati supaya kedua saudara kandungnya itu memiliki perasaan sama dengannya, semoga mereka merasa kalau Raja Hitam telah mengoyak-ngoyak kehormatan Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian.
Sesekali ia ciduk air yang beriak di samping dendang kecilnya itu. Ia coba membasuh muka dan tangan. Ia berharap, dingin laut embun bisa menyejukkan suasana hatinya yang selalu diselimuti hawa panas membara.
Penat begitu, ia pun menengadah ke langit jauh. Menatap awan gemawan nan mengapung di sana bagai kapas di permukaan permadani biru. Melihat itu berkali-kali akhirnya ia merasa sedikit lapang. Dadanya yang terasa kian hari kian menyempit setelah kedatangan Raja Hitam sedikit demi sedikit mulai melapang. Ternyata, dunia ini tak selebar dan sekecil hatinya yang diamuk risau.
Setelah sekian lama hanya gelap yang menyungkup hati dan kepalanya, ia kini mulai merasa, bahwa kesusahan, penderitaan dan kecemasan bukan untuk diratapi dan diperam berlama-lama dalam hati tapi disikapi, dipikirkan langkah apa yang mesti dilakukan. Akhirnya, tanpa terasa Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan sampai lagi ke Kota Lembacang Pandak.
Sementara itu, di atas anjung tinggi, Putri Jailan jarang sekali turun ke seri rumah godang. Jangankan keluar, tingkap anjungan yang sering tersingkap seperti biasa tak ada lagi. Hari-hari setelah kedatangan Raja Hitam, ia hanya sibuk merenung. Mukanya mulai pucat, badannya pun mulai kelihatan kurus. Matanya yang selalu indah bercahaya sudah mulai cekung dan kuyu. Hari-harinya bagai menabung sembilu, yang bila tiba masanya, sembilu itu siap menyayatnya. Sehingga kecantikan dan kemolekan yang selama ini telah terbendang ke langit dan tersiar kebumi di selilit tanah Perca hanya tinggal cerita perih. Bakal lahir lagi kisah legenda yang becerita tntang kasih tak sampai. 
Bagi Putri Jailan, detik demi detik yang berganti hanya menambah gunungan perih yang makin bertimbun. Untunglah Kembang Cina dengan setia selalu tabah melayani dan menghiburnya. Tak henti-hentinya perempuan inang pengasuh itu mengajaknya bercerita tentang ini dan itu. Tak sudah-sudahnya ia menyemangati Putri Jailan supaya selalu menyimpan asa bahwa di balik gelap pastilah  ada terang. Di balik kesuasahan itu ada kebahagian yang akan menanti.
Sementara ibunya, Omin Guntingan hanya sesekali naik ke anjung Putri Jailan. Bukan ia tak mau  merasakan pedih yang menyayat hati putrinya itu. Sungguh bukan tak merasa, tapi ia tak tega melihat airduka yang selalu berguguran dari mata permata hidupnya itu. Omin Guntingan hanya sibuk menata hatinya sendiri supaya ia siap menerima apapun yang bakal terjadi esok hari sambil tak henti-hentinya berdoa bagi keselamatan putri semata wayangnya itu.
Tak sekali dua Putri Jailan marah dan kesal dalam hati kepada Malin Bonsu kenapa pergi juga melaut padahal sudah hampir bertupang lidahnya menegah supaya jangan pergi. Tapi? Ternyata itulah lelaki, selalu mengandalkan pikiran semata tanpa mempedulikan firasat seorang perempuan. Kini apa hendak dicakap? Andai kata Malin Bonsu masih hidup, masih mungkinkah sampai ke Kota Lembacang Pandak dalam dua hari ini, menyelamatkan ia dan negeri besar ini dari huru-hara yang bakal diperbuat oleh Raja Hitam dan seluruh orang bagak dari Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang?
Apalagi setelah mendengar hasil pertemuan ayah-bundanya dengan dua orang pamannya di Ranah Kunto Panalian kemarin. Mendengar hasil yang tidak menggembirakan itu, ia makin larut dalam kedukaan. Semua yang ia kabarkan kepada Malin Bonsu beberapa bulan yang lampau terbukti sudah. Dua pamannya itu tak mampu lagi menjadi akar tempat bersila, tak sanggup lagi menjadi dahan tempat bergantung, tak kuasa lagi menjadi daun-daun lebat tempatnya berteduh. Mereka telah uzur. Mereka telah renta. Kehebatan mereka di masa lampau ternyata tinggal kenangan. Mereka telah di,kalahkan oleh waktu. (Bersambung…)  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar