26
Siang itu, tetawak alias gong besar pun dipukul berkali-kali, bersambut pula dengan tabuh dan semua gendang besar serta gendang kecil yang berdentang-dentung tiada henti.
Beberapa rombongan yang datang dari Ranah Kunto Panlunan, Ranah Tanjung Siarang ditempatkan pada beberapa pondok besar semacam balai bertiang yang baru di bangun di samping rumah godang. Di belakangnya, di bibir hutan lebat, beberapa barak dapur umum pun telah tersedia. Di sampingnya, barak penyimpanan kayu bakar pun sudah berdiri tanpa diberi dinding. Tinggi jumunan kayu api yang bertimbun dalam barak tersebut hampir menyamai tinggi perabung rumah godang. Di sebelah barak kayu api telah berdegam pula beberapa buah lengkiang, semacam rumah penyimpanan bahan makanan. Masing-masing tempat seperti gudang barang itu dijaga oleh beberapa orang pengawal yang setiap dua belas jam berganti.
Sementara itu, di halaman luas rumah godang telah berdiri pula banyak gelanggang bermain, seperti gelanggang silat, gelanggang sabung ayam dan gelanggang gasing serta gelanggang adu layang-layang. Gelanggang silat bukan dimaksudkan sebagai arena pertandingan yang sesungguhnya antara para jagoan yang datang dari berbilang negeri mempertunjukan kebolehan mereka. Gelanggang ini dibuat hanya untuk menunjukkan kepiawaian para pendekar dalam mengolah jurus-jurus. Atau tepatnya seperti silat permainan saja yang bermaksud hanya menghibur para tamu yang datang dari berbilang negeri. Pun tak ketinggalan pula, pentas-pentas kesenian yang beraneka ragam tersergam demikian unik di antara gelanggang-gelanggang tadi. Mulai pentas sastra, musik hingga panggung sandiwara telah tersedia. Sejumlah seniman besar dari negeri-negeri di lilitan Pulau Perca turut ambil bagian. Mereka bahagia bisa ikut serta menyemarakkan helat besar Raja Hitam dan Putri Jailan tersebut.
Di tepian, tepatnya di sebelah hilir dan hulu jamban panjang, ratusan dendang telah berlabuh bersusun-susun bagai anak toman[1] mudik. Puluhan kapal besar beberapa pemimpin negeri di sekeliling Kota Lembacang Pandak dan Ranah Kunto Panalunan pun telah merapat pula di jamban panjang.
Para tamu kehormatan dari masing-masing negeri itu ditempatkan di sebuah rumah baru yang terletak di sebelah kiri rumah godang. Bangunan yang menyerupai balai panjang itu diberi sekat-sekat kamar. Di setiap pintu kamar ditulisi nama tamu kehormatan tersebut. Di dalam bilik-bilik seukuran kira-kira sepuluh depa kali sepuluh depa itu dibentangkan tikar selapi berukir aneka motif bunga yang bermacam corak dan warna-warna memikat, dengan tempat tidur yang mewah pula. Di dindingnya digantung pula berbagai lukisan terkenal dari para pelukis baik yang ada di Kota Lembacang Pandak sendiri maupun dari negeri-negeri lain.
Setiap kamar dijaga empat orang pengawal yang selalu berganti setiap enam jam. Di samping pengawal yang sudah disediakan Kota Lembacang Pandak, penguasa masing-masing negeri pun telah menyiapkan pengawal dan hulubalang mereka pula.
Semua rakyat Kota Lembacang Pandak saling bahu membahu menyukseskan helat rumah godang itu.
Bunyi tetawak mendengung siang dan malam. Rakyat tak bertiduran. Mereka sibuk terbawa euforia helat besar empat negeri ternama. Ya, negeri Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak dan Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang.
Helat ini berlangsung selama tiga bulan. Selama helat berlangsung, sepah sirih yang dikunyah dan dimamah para jemputan pun sudah menjadi sarang balai, tumpukan gambirnya telah pula menjadi bukit tanah liat. Air didih nasi yang ditanak selama helat ditaja pun sudah menjadi anak sungai. Sudah bertumbangan pula tujuh ekor kerbau beserta tujuh buah lengkiang padi sebagai bentuk ritual kebesaran adat. ( Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar