29
Karena tak sabar lagi ingin berjumpa dengan istrinya, dari tingkap anjungan, Raja Hitam menghimbau Putri Jailan dengan hati tak sedap, “Mana kamu Putri Jailan. Tolong bukakan pintu anjungan, hamba hendak berjumpa dengan dirimu. Nak bercakap sepatah seorang, nak memandang seebe muka. Hamba sudah sekian lama cinta berahikan dirimu.”
Anjung Tinggi tetap tertutup rapat. Jangankan pintu dibukakan, jawab sepatah pun tak terdengar keluar dari mulut Putri Jailan.
Siang itu angin seolah mati. Kelapa gading yang tumbuh menjulang di samping anjung Putri Jailan pun bagai patung. Daun-daun yang biasa bergesek dengan atap rumah godang saat itu tak terlihat. Terik matahari mengeluarkan hawa panas tak terkira. Hampir tak ada penduduk yang sanggup keluar rumah. Kota Lembacang pandak begitu sunyi, mungkin sesunyi negeri yang baru dialah burung garuda.
Melihat gelagat kurang baik tersebut, Raja Hitam pun berlari ke tanah, ia berdiri di laman luas sambil memandang ke Anjung Putri Jailan. Entah sudah berapa lama berdiri.
”Mana kamu Putri Jailan, hamba sudah lama cinta berahi kepadamu. Tolong bukakan pintu anjungan agak sedikit. Hamba hendak bercakap denganmu sepatah seorang, hendak berjumpa seebe mata.”
Pintu anjung tetap tertutup rapat. Anjung Putri Jailan bagai rumah yang sudah ditinggal penghuni bertahun-tahun.
Melihat itu, Raja Hitam melangkah balik ke rumah godang, hatinya. makin tak sedap. Ia naik ke atas pentas pembujangan. Raja Hitam duduk bermenung. Ia ambil sehelai daun sirih, ia kapuri pelan-pelan lalu digubal dengan gambir dan pinang. Wajahnya sangat kusut.
Sambil mengunyah sirih, terkenanglah ia akan janji kepada Malin Bonsu, janji mereka berpulang-berdunsanak, kawas minta jaga Kota Lembacang Pandak dan Putri Jailan. Kalau ada raja yang ingin menyamun, atau raja suatu negeri yang hendak menawan Putri Jailan, tolong pertahankan. Kuk golo dondang di laut, atau kusut rantau nan panjang, tolong selesaikan…
Kini? ia telah menjadi sokong yang membawa rebah. Telah menjadi aur yang membawa runtuhnya tebing. Pagar makan tanaman!
Hati Raja Hitam mulai diusik oleh janji tersebut. Ia telah menghianati sumpah setia. Lelaki yang telah putus urat takut, urat malu dan urat beradat-berlembaga itu termenung. Dan akibat dari melanggar janji itu, ternyata ia tak mendapat apa-apa. Putri Jailan yang diharapnya tak juga bisa berjumpa. Dan jika suatu hari nanti Malin Bonsu balik ke kampung ini, maka kampung ini pun akan golo, dan alamat negeri dua seiring, kampung dua sesaingan ini pun akan celaka.
Tak nyaman duduk di rumah, Raja Hitam kembali turun ke tanah. Ia duduk di bawah tangga rumah godang.
Matahari tepat berada di atas kepala. Sedang buntar bayang-bayang, semua tingkap anjungan kelihatan mulai terbuka. Putri Jailan duduk di salah-satu tingkap anjung. Melihat Putri Jailan, seketika Raja Hitam pun berlari ke arah anjung tinggi.
Sambil berlari seperti orang gila, Raja Hitam pun melaung-laung, “Mana kamu, Dik Putri Jailan. Sudah sekian lama hamba rindu padamu, kenapa kamu terus begini?”
Raja Hitam terus mencacau sambil berlari menuju anjung tinggi. Tak ia pedulikan seisi rumah godang. Ia merasa dunia ini hanya berisi ia dan Putri Jailan seorang. Ia lupa pada Datuk Tunggal Dagang, Omin Guntingan dan sejumlah penghuni rumah godang yang lain. Ia tak sadar, betapa masamnya muka mereka melihat tingkahnya. Ya, lebih masam dari limau purut. (Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar